Putusan PN Jakpus Kabulkan Nikah Beda Agama Picu Polemik

JAKARTA, Proklamator.com - Wakil Ketua MPR Yandri Susanto mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Hakim di lingkungan MA harus mengacu pada putusan MK yang menolak mengesahkan pernikahan beda agama.


Selain itu, lanjut Yandri, putusan PN Jakpus yang mengabulkan permohonan nikah beda agama juga bertentangan dengan fatwa MUI yang telah mengeluarkan fatwa tentang larangan pernikahan beda agama. Dalam fatwa MUI pada Juli 2005 yang ditandatangani K.H. Ma'ruf Amin menyebutkan pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah.


"Dalam hukum Islam, pernikahan beda agama dilarang," kata Yandri dalam keterangannya.


Islam melarang wanita muslimah menikah dengan pria nonmuslim, musyrikin, maupun ahli kitab. Sedangkan pria muslim masih diizinkan menikah dengan wanita nonmuslim. Hal ini berdasarkan surat Al Baqarah ayat 221 dan surat Al-Maidah ayat 5.


"Seharusnya putusan MK dan fatwa MUI ini menjadi rujukan para hakim, termasuk hakim di lingkungan MA,"


Yandri melanjutkan putusan PN Jakpus yang membolehkan pernikahan beda agama akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan mengganggu harmoni sosial di antara umat beragama. Karena itu, Yandri mendorong elemen masyarakat untuk menggugat putusan PN Jakpus itu ke MA.


"Kita minta elemen masyarakat, seperti Ormas Islam, untuk menyampaikan gugatan ke MA terkait putusan PN Jakpus yang mengabulkan permohonan nikah beda agama itu," katanya.


Anggota DPR Fraksi PKS, Surahman Hidayat, juga mengkritisi PN Jakpus yang seharusnya sejalan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak judicial review untuk membolehkan perkawinan beda agama.


“Para Hakim (PN Jakpus) harusnya merujuk kepada ketentuan UUD 1945 dan Putusan MK yang sudah menolak judicial review untuk membolehkan perkawinan beda Agama,” tegas Surahman dalam keterangannya.


Menurutnya, masalah perkawinan dalam Islam sudah jelas ketentuannya, yaitu perempuan muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam. Ketentuan itu juga termuat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, di mana di dalam Pasal 2 Ayat 1 dari UU tersebut disebutkan bahwa Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.


“Kalau ada hakim yang menikahkan seorang muslim dan atau muslimah dengan orang yang berbeda agama dengannya maka berarti hakim tersebut telah melanggar UU jelas menyelisihi konstitusi, konstitusi menegaskan bahwa negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa, religiusitas menjadi payung dan prinsip dalam mengambil keputusan,” kata Politisi Fraksi PKS itu.


Surahman lebih lanjut menjelaskan seharusnya para hakim tidak hanya melihat penjelasan secara tekstual dan sepotong, tetapi harus merujuk pada penafsiran original intent, agar memahami teks UU secara utuh.


Karena itu, Mahkamah Agung, kata Surahman, harus mendisiplinkan para hakim yang berada di bawah kewenangannya, agar mengoreksi keputusan yang tidak sesuai UUD, agar tidak lagi membuat keputusan yang tidak sesuai dengan Konstitusi yang berlaku yaitu UUD RI 1945.


“Dengan demikian akan terjaga harmoni sosial di tengah masyarakat plural Agama, bahkan para Hakim bisa menjadi contoh yang baik dalam sikap taat hukum dan konstitusi, dan menjadi pembelajaran yang baik bagi Rakyat, agar keadilan dan kebenaran tetap bisa ditegakkan di negara hukum Indonesia,” jelas Surahman.(***)



BACA JUGA :