![]() |
| Advokat Andre Lado, S.H., kuasa hukum Agustinus Fanggi dalam perkara perlawanan eksekusi saat ditemui awak media di PN Kupang, Jumat (21/11). Foto : Dok. Redaksi |
KOTA KUPANG, Proklamator.com - Sidang perkara perlawanan eksekusi atas objek tanah strategis di area Lampu Merah Oesapa, Kota Kupang, kembali memanas setelah muncul fakta hukum mengejutkan dalam sidang Perlawanan Eksekusi Nomor 321/Pdt.Bth/2025/PN Kpg.
Di tengah bantahan keras Satrya Dindus Liwe, Happy Christyn Liwe, Honey Lestari Liwe, Prince Liwe, El Roy Liwe, Drs. Anthon A. Liwe Rohi (Terlawan I sampai Terlawan VI), Paulus Kou (Terlawan VII) akhirnya mengakui secara penuh seluruh dalil gugatan perlawanan eksekusi, Agustinus Fanggi.
Hal ini terkuak berdasarkan keterangan resmi Andre Lado, S.H., selaku kuasa hukum dari Agustinus Fanggi, dalam perkara yang sementara menjadi sorotan publik tersebut, Pada Jumat (21/11).
Kepada wartawan Advokat Andre Lado, membeberkan secara rinci bahwa pengakuan Terlawan VII telah “mengubah peta perkara” dan memberikan titik terang.
“Terlawan VII (Paulus Kou_red) bukan hanya membenarkan hubungan hukum jual beli tahun 2007, tetapi juga mengakui bahwa Agustinus Fanggi memang telah membayar panjar, membangun rumah kos 5 kamar, dan bahkan bahwa almarhumah Yaene Ariani Liwe Mihabalo juga mengetahui serta turut menyetujuinya,” ujarnya
Masih menurut Andre (sapaan akrabnya), meskipun selama ini kliennya Agustinus Fanggi dianggap tidak memiliki legal standing dan tidak pernah membeli tanah tersebut.
Namun, pernyataan Terlawan VII di persidangan itu justru menegaskan hal sebaliknya, sehingga fakta ini telah mematahkan seluruh eksepsi dan bantahan dari Terlawan I–VI,
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun awak media, dalam keterangannya di persidangan, Terlawan VII Paulus Kou sebagai penjual tanah kepada Agustinus Fanggi menyatakan beberapa poin penting, yakni;
* Mengakui jual beli pada 10 April 2007 dengan harga Rp 350 juta.
* Mengakui menerima dua kali pembayaran panjar dengan total sebesar Rp 50 juta.
* Mengakui Pelawan diizinkan membangun kos 5 kamar di atas tanah sengketa.
* Mengakui bahwa almarhumah Yaene Ariani Liwe Mihabalo juga mengetahui dan tidak keberatan.
* Mengakui bahwa sebagian uang dari Agustinus Fanggi dipakai untuk menutup cicilan di BRI.
Ini artinya Paulus Kou (penjual) dan almarhumah Yaene Ariani Liwe Mihabalo (Pembeli sebelumnya) bekerjasama untuk menjual lagi obyek tersebut kepada Agustinus Fanggi guna membayar cicilan hutang jaminan di Bank BRI,
“Dalam jawabannya Terlawan VII Paulus Kou menerangkan bahwa ia menjual kembali objek tersebut atas persetujuan bersama dengan almarhumah Yaene Ariani Liwe Mihabalo (pembeli sebelumnya) karena tekanan untuk bayar cicilan dari pihak bank yang belum dilunasi,” jelas Andre.
Menariknya, pengakuan Terlawan VII bertolak belakang dengan eksepsi dari Terlawan I–VI yang menyatakan bahwa gugatan kabur dan tidak logis meski fakta di persidangan menunjukkan bahwa Terlawan VII sudah mengakui semuanya. Menanggapi fenomena tersebut pengacara Andre Lado terkesan santai dengan mengatakan bahwa,
“Itu hal yang biasa dalam dinamika peradilan, upaya mereka cuma sekedar untuk menutupi fakta hukum yang terang, dan itu menurut saya sah-sah saja,” ungkapnya
Namun ditegaskan Andre bahwa implikasi pengakuan Terlawan VII dalam hukum acara perdata di muka persidangan adalah bukti sempurna sesuai Pasal 174 HIR.
“Pengakuan ini mengikat hakim. Artinya, dalil kami sebagai pelawan telah memperoleh pembenaran dari pihak yang langsung terlibat dalam transaksi. Tidak ada lagi ruang hukum bagi Terlawan I–VI untuk menolak fakta tersebut,” tegasnya.
Lebih jauh dirinya mengingatkan bahwa, pembangunan 5 kamar kos yang dilakukan Agustinus Fanggi atas seizin Paulus Kou dan sudah melalui persetujuan bersama dari almarhumah Yaene Ariani Liwe Mihabalo,
“Hal ini menandakan bahwa adanya hak kebendaan klien saya, penguasaan fisik nyata, kepentingan hukum yang sah, sehingga kami berhak mengajukan perlawanan eksekusi.” bebernya
Andre juga berpendapat bahwa upaya hukum yang dilakukannya itu bukan sekadar sengketa tanah, tetapi soal keadilan yang tertunda,
Sebab upaya perlawanan tersebut bukan untuk menghalangi proses eksekusi perkara terdahulu, tetapi guna melindungi hak pribadi atas bangunan dan transaksi yang sah, yang kini terancam hilang tanpa penilaian hukum yang adil.
“Jika eksekusi dilakukan tanpa mempertimbangkan hak dari Pelawan yang telah membangun, membayar, dan menguasai sebagian objek, maka itu bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengingkaran terhadap keadilan,” pungkasnya.
Dengan pengakuan penuh dari Terlawan VII, tentunya publik semakin optimistis bahwa majelis hakim akan menolak seluruh eksepsi Terlawan I–VI, menyatakan Pelawan memiliki legal standing, mengakui keberadaan bangunan Pelawan, melindungi hak keperdataan Pelawan, menunda proses eksekusi terhadap objek tersebut.
Pengakuan mengejutkan dari Terlawan VII ini tidak hanya membuka fakta-fakta yang selama ini tertutup. Kebenaran pada akhirnya akan menemukan jalannya. Dan hari ini, fakta persidangan telah menunjukkan bahwa hak Agustinus Fanggi sebagai pencari keadilan tidak dapat diabaikan.
(Red)
